Prof. Dr. Ir. Ahmad Suryana, MS
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
PENDAHULUAN
Populasi penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta orang memerlukan kesediaan pangan hewani bermutu tinggi, halal dan aman dikonsumsi. Rataan konsumsi pangan hewani asal daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1; 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Angka angka tersebut barangkali jauh lebih rendah dari angka konsumsi standar Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (LIPI, 1989) yaitu sebanyak 6 gram/kapita/hari atau setara dengan 10,3 kg daging/kapita/tahun, 6,5 kg telur /kapita/tahun, dan 7,2 kg susu/kapita/tahun (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Konsumsi pangan asal hewani akan meningkat sejalan dengan membaiknya keadaan ekonomi masyrakat maupun meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi baik. Di antara ketiga jenis pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu), sejak tahun 1955 Indonesia sudah mampu berswasembada telur dan daging ayam, akan tetapi sampai dewasa ini kita belum untuk daging sapi dan susu.
Secara Nasional, produksi telur ayam didukung oleh industri unggas swasta dari ras petelur yang sebagian dicukupi oleh telur ayam buras maupun telur itik, berturutturut adalah 751,1 ; 181,1 dan 201,7 ton (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Tidak demikian halnya dengan kesediaan susu, dimana dari konsumsi susu nasional yang sebesar 4-4,5 juta liter/hari, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 30% saja (1,2 juta liter/hari). Produksi susu dalam negeri tersebut terutama dipenuhi dari industri persusuan Nasional berlokasi di Jawa Barat (450 ton), Jawa Tengah (110 ton) dan Jawa Timur (510 ton), sementara sisanya masih harus diimpor dari luar negeri.
Di antara pangan hewani asal daging, maka sebagian besar masyarakat Indonesia mengandalkan pada penyediaan daging unggas (ayam dan itik), daging sapi, kerbau dan babi. Kesediaan daging unggas dari broiler (955.756 ton) sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas, sedangkan populasi ayam lokal sejumlah 298,4 juta ekor, mempunyai produksi sekitar + 322.8 ribu ton. Populasi sapi potong yang 11 juta ekor hanya memenuhi produksi daging sapi nasional sebesar 306 ribu ton (pemotongan sekitar 1,5 juta ekor/tahun) atau baru memenuhi 70% dari kebutuhan nasional. Sehingga pemerintah masih memerlukan importasi bakalan sapi potong sejumlah 408 ribu ekor/tahun (setara dengan 56 ribu ton). Pada tahun 2005 importasi daging (terdiri dari daging sapi, kambing, domba, ayam dan babi, termasuk hati dan jeroan sapi) mencapai 634.315 ton dan produk susu mencapai 173.084 ton, belum lagi mentega (60.176 ton), keju (9.883 ton), sedikit telur dan yoghurt (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Besarnya importasi bakalan sapi potong tentu saja akan sangat menguras devisa negara dan membuat ketergantungan pada pihak luar.
Stimulasi produktivitas ternak dapat ditingkatkan melalui implementasi kebijakan pemerintah untuk mendukung pengembangan sistem produksi ternak maupun dengan perakitan inovasi teknologi yang sesuai. Inovasi teknologi, selain menyangkut produktivitas ternak, juga harus menyentuh aspek penangan kesehatan hewan maupun pengolahan produk ternak yang aman dan halal.
Naskah ini akan menyampaikan dukungan teknologi Badan Litbang Pertanian guna penyediaan produk pangan asal peternakan dan asal peternakan, yaitu daging, telur dan susu.
APRESIASI MASYARAKAT PADA PRODUK TERNAK
Sudah diketahui bersama bahwa produk ternak sangat dibutuhkan dalam menopang kehidupan tubuh manusia. Kualitas pangan berasal dari hewan ini pada batasbatas cukup sangat dibutuhkan untuk menopang hidup pokok, aktivitas dan reproduktivitas umat manusia. Akan tetapi belum semua maasyarakat Indonesia yang dapat memenuhi kebutuhan pangan asal hewan. Soedjana (1996) mengindikasikan bahwa pada masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah, pangsa pengeluaran rumah tangganya sebagian besar (lebih dari 50%) masih didominasi oleh pengeluaran pangan, terutama beras sebagai makanan pokok. Dijumpai pula bahwa masyarakat di perkotaan, yang berpendapatan tinggi dan berpendidikan menengah ke atas, pangsa anggaran belanja makanannya diperkirakan kurang dari separuh pendapatan rumah tangga. Yang sangat menarik dari fenomena ini adalah dijumpainya kecenderungan penurunan konsumsi pangan yang bersumber karbohidrat dan beralih pada pangan bersumber protein seperti hasil ternak dan ikan.
Diduga konsumen pangan sumber produk ternak ini lebih banyak untuk masyarakat di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan, meskipun pada akhir-akhir ini ada juga masyarakat dengan berpenghasilan menengah ke atas mulai mengkhawatirkan kelebihan konsumsi pangan sumber hewan, sehingga ada kecenderungan untuk menurunkan konsumsi pangan berasal produk ternak dan beralih pada buah dan sayur.
Fenomena di atas ini tentunya masih merupakan perbandingan yang kurang proporsional jika melihat pangsa masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia ini boleh dikatakan paling besar dibandingkan dengan pangsa masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi. Mengingat bahwa masyarakat di Indonesia baru mengkonsumsi protein hewani sebanyak 4,19 gr/kapita/hari, artinya berdasarkan norma gizi minimal bangsa ini baru mengkonsumsi 69,8% protein hewani. Saat ini, masyarakat Indonesia baru bisa memenuhi konsumsi daging sebanyak 5,25 kg, telur 3,5 kg, dan susu 5,5 kg/kapita/tahun (Siswono, 2005). Jelas sekali terlihat bahwa kesenjangan yang sekitar 30,2 % masih merupakan tantangan yang harus dihadapi guna memenuhinya.
Keterbukaan pangsa pasar produk ternak ini begitu lebar, sehingga upaya-upaya peningkatan produksi ternak melalui berbagai jurus sistem seperti sistem ektensif di pulau-pulau yang kurang penduduknya sampai sistem intensif yang berada di pulau yang dihuni banyak manusia. Namun kembali lagi pada fenomena yang dikemukakan Soedjana (1996), besarnya pendapatan keluarga sangat menentukan besarnya konsumsi produk ternak, sehingga keterbukaan pasar yang kelihatannya menggiurkan, tenyata ada keterbatasan. Upaya pemerintah tentunya tidak berhenti, karena tujuan utamanya adalah meningkatkan konsumsi produk pangan berasal dari ternak, sehingga faktor daya beli masyarakat sebaiknya bukan penghalang serius. Berbagai cara untuk meningkatkan konsumsi pangan berasal produk ternak ini, misalnya peningkatan pemilikan ternak yang disertai dengan promosi utamanya peningkatan konsumsi untuk keluarga, yang pada gilirannya dapat juga berakhir untuk dijual untuk mendapat tambahan uang tunai untuk keluarga.
TEKNOLOGI BUDIDAYA MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUK PANGAN HEWANI
Ternak merupakan komoditas yang memiliki peluang pengembangan, melalui industri pengolahan hasil ternak, mudah pemeliharaan, bisa kawin secara alami maupun dengan teknik IB, mudah dalam penyediaan pakan. Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba sebagai penghasil daging, susu dan limbah (kotoran sebagai pupuk), unggas (ayam dan itik) yang semula hanya dipelihara sebagai penghasil telur, saat ini telah populer juga sebagai penghasil daging yang berpotensi menghasilkan olahan yang bernilai gizi tinggi seperti sosis, abon, nuget, itik asap dan dendeng, dan mempunyai nilai tambah yang signifikan, serta potensi lain dalam menghasilkan kulit (sapi, kambing/domba, kelinci), bulu itik, wool domba dan ceker (ayam/itik) yang nilai ekonominya cukup tinggi.
Peningkatan produk pangan hewani tentu saja bisa diupayakan dengan beberapa cara, yakni melalui (i) peningkatan populasi ternak, (ii) importasi bahan-bahan pangan produk ternak untuk kemudian dibuat berbagai macam pangan berbahan produk ternak, dan (iii) importasi pangan jadi berbahan produk ternak. Sementara untuk meningkatkan konsumsi produk hewani itu sendiri akan ditentukan oleh pendapatan keluarga dalam masyarakat dan gaya hidup masyarakat sebagai konsumen pangan berbahan produk hewani.
Adapun dalam upaya peningkatan populasi ternak, pemerintah sebagai inisiator dan fasilitator peningkatan populasi ternak harus fokus untuk terus berusaha mencari dan melaksanakan berbagai upaya mewujudkan program-program peningkatan populasi ternak baik itu yang pemeliharaannya dilaksanakan oleh masyarakat kecil, menengah maupun pihak industri swasta. Sementara itu masyarakat produsen yang sebagian besar tinggal di pedesaan, pada umumnya mempunyai peluang-peluang untuk melakukan peningkatan produksi ternak, karena mereka memiliki sumberdaya lahan dan pakan yang relatif masih luas, terutama bagi penduduk yang tinggal di luar Pulau Jawa.
1. TERNAK BESAR
Budidaya ternak ruminansia besar, seperti sapi potong dan sapi perah pada dasarnya memerlukan investassi dan lingkungan memadai, seperti modal dan lahan serta dukungan pasar. Upaya peningkatan konsumsi protein hewani untuk meningkatkan gizi masyarakat melalui peningkatan populasi sapi secara tidak langsung dapat tercapai. Namun pada kenyataannya saat ini para masyarakat produser sapi potong maupun perah, terutama peternak kecil (smallholder) belum merasakan peningkatan konsumsi hewani yang signifikan, karena pada umumnya mereka lebih mengutamakan untuk mendapatkan uang tunai untuk keperluan sehari-hari. Diduga uang hasil penjualan tersebut dipakai sebagian besar untuk membeli pangan berasal karbohidrat ketimbang protein. Pilihan untuk mengkonsumsi harian daging sapi sangat kecil sekali, sementara untuk meminum air susu sapi, meskipun peluangnya lebih besar, namun agak segan dilakukan, karena peternak cenderung terlebih dahulu mencicil pinjaman modal ke koperasi.
Berbagai teknologi telah tersedia untuk mendukung peningkatan daging, diantaranya: tanaman pakan ternak unggul limbah-limbah perkebunan dan jerami tanaman palawija. Selain itu, telah tersedia pejantan unggul sebagai sumber mani beku yang dapat diperoleh dengan relatif mudah, sampai aspek kebijakan, strategi dan program pengembangan. Tindak lanjut implementasi strategi dan program tersebut tentunya harus diupayakan untuk secara serius diinisiasi terutama oleh pemerintah yang berperan sebagai motivator dan fasilitator masyarakat produsen sapi (Suryana et al., 2005; Suryana, 2007).
Sedangkan untuk meningkatkan produksi susu sapi, sudah tersedia berbagai teknologi, namun dalam mewujudkan tujuan di atas, masih perlu diupayakan terobosanterobosan, seperti:
- Dukungan kebijakan yang kondusif dari pemerintah pada tingkat pusat maupun daerah dengan bekerjasama dengan organisasi koperasi susu sapi yang sudah berjalan dengan baik.
- Importasi sapi dilakukan dalam jumlah terbatas dan selektif, mulai dari proses pembelian ternak (identitas, kondisi dan prestasi produksi), target pemilihan lokasi dan peternak.
- Persilangan untuk menciptakan bangsa baru yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat, ataupun grading up kearah darah sapi Holstein.
- Penjaringan dan pembesaran sapi perah pedet betina terpilih perlu dilakukan di daerah sentra produksi baik oleh peternak, KUD dan pihak terkait untuk dipakai sebagai replacement stock.
- Pengembangan jenis sapi perah yang adaptif terhadap iklim tropis seperti sapi Hissar yang banyak berkembang di Sumbawa dan Sumatera Utara merupakan alternatif lain dalam upaya peningkatan produksi susu di Indonesia khususnya untuk wilayah Indonesia Timur.
- Memperpendek lamanya waktu kawin kembali setelah beranak yaitu 60 hari dan kembali bunting sekitar 90 hari setelah beranak; menurunkan servis per konsepsi menjadi kurang dari dua kali. Peningkatan kinerja reproduksi sebenarnya tidak terlepas dari kinerja IB yang diupayakan melalui perbaikan kesehatan reproduksi sapi betina, efisiensi deteksi birahi, kualitas semen, penyempurnaan teknik dan pelaksanaan IB di lapangan, serta peningkatan keterampilan inseminator. IB yang baik mampu meningkatkan kemampuan produksi susu minimal 2%.
- KUD atau koperasi dapat menjadi produsen pakan konsentrat untuk membantu ketersediaannya. Selain konsentrat, juga diperlukan penyediaan hijauan pakan ternak (HPT) secara berkelanjutan mendukung peningkatan produksi susu nasional. Pasokan limbah tanaman pangan merupakan potensi dan peluang bagi pengembangan sapi perah di daerah pertanian. Integrasi ternak dengan perkebunan memberikan harapan bagi masalah kekurangan HPT. Pemberian pakan berkualitas baik dan benar memberikan peningkatan produksi susu antara 11-25%
- Promosi untuk meningkatkan konsumsi susu segar misalnya dengan mensosialisasikannya pada anak sekolah dasar untuk meningkatkan gizi anak-anak. Sebagai contoh pemerintah Daerah Sukabumi telah menggencarkan program “Gerimis Bagus” yaitu Gerakan Intensifikasi Minum Susu Bagi Anak Usia Sekolah (Praharani, 2007).
2. TERNAK KECIL
Komoditas ternak dengan modal relatif kecil dan produknya dapat dikonsumsi sehari-hari oleh keluarga adalah pemeliharaan ternak unggas, kelinci maupun kambing perah. Kontribusi ternak kecil ini sebagai sumber pangan hewani yang dikonsumsi harian untuk keluarga adalah cukup besar, mengingat bahwa produk dari ternak tersebut dapat diatur untuk disediakan setiap hari. Dengan berkurangnya pemelihara unggas karena merebaknya kasus flu burung, maka pemeliharaan kelinci merupakan laternatif pengganti. Urutan kemudahan pemeliharaan ketiga komoditas ternak terakhir ini adalah kelinci, karena sebagai ternak pemakan rumput dan mempunyai tingkat produktivitas tinggi (32 kg karkas/ekor/tahun) sangat cocok sekali jika dipelihara guna masyarakat bermodal kecil. Dengan pemilikan 5 ekor induk saja, diperkirakan sudah dapat menyediakan 160 kg daging per tahun. Namun untuk mengkonsumsi daging kelinci ini, meskipun dagingnya halal, masih terdapat keengganan pada masyarakat. Padahal daging kelinci mempunyai kualitas daging yang relatif tinggi (protein 21%, lemak 8%) versus daging sapi (protein 20, lemak 24%) (Raharjo, 2007). Sehingga perlu diupayakan sosialisasi keunggulan pemeliharaan kelinci sebagai pemenuhan gizi masyarakat maupun sumber pendapatan di berbagai agroekosistem pemeliharaan.
Urutan prioritas kedua kemungkinan adalah kambing perah, dengan modal relatif kecil, para peternak kecil masih mampu untuk mengusahakannya. Kambing sebagaimana kelinci merupakan ternak pemakan hijauan, kiranya dapat bertahan pada kondisi pedesaan. Kambing perah mempunyai produktifitas susu jauh lebih rendah dari sapi perah, namun pemilikannya dapat lebih banyak dibandingkan dengan sapi perah. Kisaran produksi susu kambing Peranakan Etawah (PE) adalah 0,75–1,5 liter/hari/ekor, maka dengan pemilikan 2 ekor induk memungkinkan dalam setiap keluarga dipedesaan, kiranya dapat meyediakan produk hewani yang istimewa guna konsumsi harian keluarga (Sutama, 2007).
Unggas lokal baik itu ayam kampung, itik, entog maupun burung puyuh dapat dikategorikan pula sebagai komoditas ternak yang dapat secara signifikan meningkatkan konsumsi pangan hewani keluarga, namun kadang kala ternak ini memerlukan pakan butiran dan sisa hasil pertanian seperti dedak padi yang harus dibeli. Sistem umbaran (scavanging) tentunya banyak juga dilakukan oleh masyarakat pedesaan dengan kondisi lahan yang memungkinkan. Dengan merebaknya kasus flu burung (Avian influenza) akhir-akhir ini, maka aktivitas di bidang perunggasan rakyat sedikit menurun. Akan tetapi, dengan penerapan sistem biosekuriti untuk peternak unggas di level 4, paling tidak dapat mencegah dan mengurangi timbulnya kasus baru penyebaran flu burung. Sehingga kegiatan budidaya unggas lokal oleh masyarakat luas masih dapat dilakukan.
Sumber : Litbang DEPTAN
HALAMAN 1 dari 2 : Lanjut
No comments:
Post a Comment